RAWON

Rawon adalah makanan khas Jawa Timur. Berbeda dengan saudara dekatnya, SOTO, ia tidak bisa dijumpai di berbagai kota di Indonesia. Bandingkan saja, hampir setiap kota di Indonesia memiliki varian SOTO, namun tidak dengan RAWON. Dia hanya bisa ditemui di Jawa Timur.

Juga berbeda dengan SOTO yang memiliki varian; ayam, sapi, atau babat, RAWON tidak memiliki varian. Rawon harus memakai daging sapi dengan bagian yang ada lemaknya.

Ada kekhasan lain yang membedakan RAWON dengan SOTO, yaitu soal warna kuah. Kita mengenal Soto Lamongan yang agak kuning-bening kunyit, atau Soto Madura yang kuning kental, atau Soto Ambengan yang pekat dengan koya, atau juga Soto Betawi yang putih santan, dll. RAWON hanya memiliki satu warna, HITAM.

Warna hitam yang dihadirkan oleh rawon berasal dari bumbu keluak atau dalam bahasa biologinya pangeum edule yang dihasilkan oleh tanaman Kepayang. Hitamnya warna kuah rawon juga menambah selera memakannya. Sebab jika rawon dihidangkan kurang hitam, kita akan sedikit mengernyitkan dahi, rawon kok mangkak. Selain memberi warna, keluak juga memberi rasa khas yang hanya bisa dirasa tanpa bisa diulas dengan jelas.

Di Jawa Timur ada beberapa warung rawon yang sangat terkenal bahkan fenomenal. Misalnya warung “Rawon Setan”. Mengapa disebut demikian, apakah memakai bumbu-bumbu penglaris dari makluk menyeramkan? Ternyata tidak. Ternyata disebut “Rawon Setan” karena warung tersebut buka dari tengah malam hingga menjelang pagi. Saat di mana setan sedang olah raga senam.

Masyarakat Jawa Timur kebanyakan juga bisa mengolah rawon ini. Bahkan terkadang kreatif. Maka tidak mengherankan kalau akhirnya ada menu “Rawon Blonceng”. Karena dagingnya dicampur dengan blonceng. Kreatifitas ini muncul karena harga daging yang mahal. Maka mencampurinya dengan blonceng akan membuat rawon lebih “berisi”.

Sebaliknya bagi mereka yang dompetnya agak tebal, daging sapi yang biasa diiris kotak-kotak dan sebagian banyak gajihnya tersebut, diganti dengan daging empal. Kuah rawon tetap dibuat, tetapi dagingnya tidak dimasak bersamaan, namun dipisah dalam bentuk empal. Tetapi ini membutuhkan daging yang lebih banyak dengan kualitas daging yang lebih baik.

Rawon, bagi saya mengingatkan akan adanya hajatan. Biasanya di kampong-kampung, kalau ada hajatan orang menikah atau sunatan; menu hidangan yang umum disajikana dalah rawon. Jangan berharap bahwa rawonnya akan melimpah dengan daging, kuahnya menyengat nikmat; kebanyakan rasanya agak hambar. Dagingnya juga bisa dihitung; kalau mereka nakal bahkan meski hajatan masih berani mencampur dengan blonceng. Hanya agar mengesan, sambal untuk rawon ditaruh di dalam sendok, maka kalau tidak hati-hati akan termakan dalam sendokan pertama.

Bahkan rawon menjadi masakan “resmi” hajatan, menandakan bahwa rawon memiliki kelas tersendiri di dalam masyarakat. “Kelas” yang dimiliki oleh rawon ini bukanlah sembarang kelas. Dia memiliki standar tersendiri. Orang tidak bisa sembarangan membuatnya, juga tidak banyak celah untuk improvisasi. Misalnya, rawon biasa disajikan dengan kecambah yang baru tingis. Dan kecambahnya harus dari biji kacang hijau. Istilahnya, rawon itu hitam tapi elegan. Dia tidak sembarangan.

Hmmm, saya kok merasa ada yang sedang senyum-senyum sendiri dengan pikiran dipenuhi rasa curiga bahwa saya saat ini sedang melakukan sebuah upaya pembelaan pada diri yang hitam sejati. Maka harus dipoles dengan kata-kata elegan, bahkan berkelas. Padahal, kalau hitam ya hitam saja. iya, nggak? Sama sekali tidak. Bahkan sebaliknya, di sini tidak ada upaya pembelaan diri. Karena tanpa dibela pun, hitam tetaplah hitam dan kalau harus di bela nanti jadinya belang-belang, tidak hitam lagi, tidak elegan lagi, tidak manis lagi. ups…

Terakhir, rawon bagi saya mengingatkan akan “ke-Jawa timur-an” saya. Dari mana saya berasal, dan bagaimana saya menjadi. Hitam yang menjadi ciri identical saya bukan sesuatu yang harus ditangisi, tetapi sesuatu yang patut dibanggakan.

Maaf, kali ini saya tidak mengurai rasa yang terselip dari tiap suapan rawon, karena sangking laparnya, semuanya terasa enak. Meski panas dan pedas, tetap slurp slurp slurp.. sampai tetes terakhir.

Sebenarnya saya ingin mengatakan sesuatu, tapi malu. Ntar dikira ini dan itu. Tapi ya sudahlah, karena dipaksa maka saya katakan saja. Sebenarnya Rawonitu saya. Kok bisa? Iya. Dia hitam, apa adanya. Sederhana, makanan kampung yg nembus makanan hajatan. Tetapi dia tidak bisa dimacam-macamin. Sederhana tapi elegan. Wih, kata ini muncul lagi. Maka kalau sekarang saya menikmati rawon, itu agar saya tidak lupa siapa saya.

Salam.